di Aslama Nanda Rizal (traduzione ed editing a cura di Salvatore Puleio)
Premessa dell’Editore
Pubblico con piacere un altro articolo del prof. Aslama Nanda Rizal, che mi ha inviato un contributo dal titolo ‘Muhammadiyah vs Partai Komunis Indonesia Era Kolonial Hindia-Belanda‘, letteralmente ‘Muhammadiyah contro il Partito Comunista Indonesiano nell’era coloniale delle Indie Orientali Olandesi’. Si tratta di un contributo originale su alcune figure che, da associazioni islamiche sono passate al Partito Comunista Indonesiano, una anomalia, che però potrebbe essere spiegata dal clima teso e controverso del movimento nazionalista e della lotta contro il colonialismo olandese.
Come di consueto, presenterò il testo originale in indonesiano (autore), e sotto la mia traduzione/adattamento in italiano (editore); ringrazio ancora l’autore per il contributo e vi lascio alla lettura del testo, che presenta informazioni utili per la riflessione.
Introduzione
Awal abad ke-20 menjadi titik balik perputaran sejarah bangsa Indonesia. Berkembangnya berbagai ideologi; nasionalisme, Islam, dan komunisme, berdampak pada kesadaran kebangsaan dan perjuangan melawan pemerintah kolonial Hindia-Belanda. Muhammadiyah menjadi salah satu representasi kelompok Islam yang terlibat. Sebelum momentum ‘Sumpah Pemuda 1928’, pertarungan antar ketiga ideologi besar tersebut terjadi sangat keras, terutama komunis dan Islam. Muhammadiyah yang bergerak lebih kooperatif dengan pemerintah kolonial Hindia-Belanda dan tidak terlalu menyerang kelompok ideologi lain -tidak sekeras SI (Sarekat Islam), nyatanya justru juga pernah berkonflik dengan komunis.
Selama ini, narasi pertarungan ideologi Islam-komunis era kolonial Hindia-Belanda sering diwarnai dengan kisah SI vs PKI (Partai Komunis Indonesia), bahkan PKI lahir dari rahim SI. Namun ternyata, terdapat pula pergulatan Muhammadiyah vs komunis di era kolonial, tepatnya sekitar pemberontakan PKI pertama (1926-1927).
PKI 1921-1927 yang lahir dari kelompok Islam, menjadi anomali jika dikaitkan dengan ideologi komunis itu sendiri, karena tidak menitikberatkan pada konsep materialisme-dialektika-historis Karl Marx. Melainkan, cenderung sebagai jiwa perjuangan, atau lebih tepatnya; ‘Islam revolusioner (Islam-komunis)’. Hadji Misbach menjadi representasi Islam-komunis Jawa (Solo), dan Datuk Batuah representasi Islam-komunis Minangkabau (Padang Panjang, Sumatera Barat).
L’inizio del XX secolo segnò un punto di svolta nella storia della nazione indonesiana, in quanto lo sviluppo di varie ideologie, come il nazionalismo, l’Islam (politico) e il comunismo, ha avuto un impatto sulla coscienza nazionale e sulla lotta contro il governo coloniale olandese delle Indie Orientali. Muhammadiyah è diventata una delle rappresentazioni del gruppo islamico coinvolto in questa lotta.
Prima del cosiddetto ‘Giuramento della Gioventù del 1928’, la lotta tra queste tre grandi ideologie era molto intensa, specialmente quella tra comunisti e islamisti; Muhammadiyah, che si muoveva in modo più cooperativo con il governo coloniale olandese delle Indie e non attaccava eccessivamente gli altri gruppi ideologici (al contrario di SI, Sarekat Islam), in realtà ha avuto anche dei conflitti con i comunisti. Fino a questo momento, la narrazione della lotta ideologica islamo-comunista dell’era coloniale nelle Indie Orientali Olandesi è stata spesso dominata dalla contrapposizione tra Sarekat Islam ed il Partito Comunista Indonesiano.
Tuttavia, si è scoperto che nell’era coloniale era anche presente una lotta tra Muhammadiyah e i comunisti, scatenata dalla prima ribellione del PKI (1926-1927); Tra il 1921-1927, in effetti, il PKI venne notevolmente influenzato dai gruppi islamici, tra cui Sarekat Islam, e diventò un’anomalia in quanto esso non si basava sul concetto di materialismo-dialettico-storico di Karl Marx. In questo periodo, invece, il PKI tendeva ad essere uno strumento di lotta, o più precisamente una sorta di Islam rivoluzionario, o di Islam comunista. Hadji Misbach è diventato la rappresentazione di questa ideologia particolare (e per certi versi anomala) a Giava (Solo), mentre Datuk Batuah ha operato a Minangkabau (Padang Panjang, Sumatra Occidentale).
Hajii Misbach contro Muhammadiyah e Sarekat Islam
Hadji Misbach vs Muhammadiyah & SI
Situasi politik antar ideologi di Hindia-Belanda memanas sepanjang 1920an, puncaknya, pemberontakan PKI 1926, sekaligus menjadi ‘anti-klimaks’ bagi komunisme era kolonial. Karena setelah itu, PKI dan komunisme dihabisi pemerintah kolonial. Aktivisnya ditangkap, dipenjara, dan dibuang, partainya dibubarkan, dan ideologinya dilarang. Secara organisasi, SI & Muhammadiyah, pada akhirnya menetapkan kebijakan dispilin, yakni melarang dualisme keanggotaan. Hal tersebut memperuncing konflik PKI dengan SI serta Muhammadiyah.
Salah satunya, Hadji Misbach. Mubaligh alumni pesantren ini adalah mantan tokoh Muhammadiyah, yang akhirnya berbalik menentang Muhammadiyah, serta menjadi ‘juru bicara’ (propagandis) PKI dan komunisme. Misbach juga awalnya sangat dekat dengan SI. Awal era pergerakan nasional, SI & Muhammadiyah sangat dekat secara, terutama melalui hubungan HOS Cokroaminoto & K.H. Ahmad Dahlan.
Misbach masuk Muhammadiyah setelah perkenalannya dengan Hadji Fachrodin, di IJB (Inlandshce Journalisten Bond), atau Perhimpunan Jurnalis Bumiputera, yang didirikan Mas Marco Kartodikromo. Mereka lalu mendirikan surat kabar Medan Moeslimin (1915) dan Islam Bergerak (1917). Hubungan Misbach dengan SI juga awalnya sangat dekat. Ia pernah mendirikan laskar SATV (Sidik, Amanah, Tabligh, Vatonah), untuk mendampingi TKNM (Tentara Kandjeng Nabi Mohammad), laskar yang dibentuk HOS Cokroaminoto sebagai wujud protes terhadap kasus penistaan agama oleh Martodharsono dan Djojodikoro (1918).
Misbach menjadi ‘Haji Merah’, berusaha menyatukan Islam dan komunisme menjadi satu ideologi dan satu kekuatan politik, tidak perlu dipertentangkan dan tidak perlu saling menentang. Ia akhirnya tak sejalan lagi dengan SATV dan keluar pada 1920. Misbach dipenjara oleh pemerintah kolonial setelah menjadi provokator kerusuhan dan pemogokan buruh tebu di Klaten. Dalam jeruji besi itulah, Misbach banyak bertemu aktivis ISDV (kelak PKI), dan memantapkan hatinya menjadi seorang komunis.
Konflik diawali dengan melawan HOS Cokroaminoto dengan sesama petinggi CSI (Centraal Sarekat Islam), terkait dugaan penggelapan uang TKNM (yang diduga dilakukan oleh HOS Cokroaminoto itu sendiri) (4). Misbach sangat kecewa dengan hal tersebut. Ditambah dengan kebijakan disiplin organisasi yang ditetapkan SI tentang larangan dualisme keanggotaan di organisasi lain, membuat Misbach semakin geram. Larangan tersebut adalah dampak dari banyaknya anggota SI cabang Semarang yang merangkap anggota PKH (Perserikatan Komunis Hindia) -kelak berganti rupa menjadi PKI )Partai Komunis Indonesia)-.
Muhammadiyah dan SI semakin dekat, dan Muhammadiyah tidak memilih jalur non-kooperatif sebagaimana SI, namun kooperatif dengan pemerintah kolonial Hindia-Belanda. Hal itulah yang membuat Misbach murka, dan semakin meruncing terutama setelah keluar dari penjara (kasus pemogokan buruh tebu Klaten 1920) pada 1922. Pada Rapat Tahunan Muhammadiyah 1923 di Yogyarakta, ia datang dan meminta Muhammadiyah menjadi partai politik. Misbach diperkirakan telah keluar dari Muhammadiyah setahun sebelumnya (atau awal/tengah 1923), setelah mengkritik habis KH. Ahmad Dahlan dan H. Fachrodin, dan Hoofdbestuur Muhammadiyah sebagai pihak yang terlibat skandal hutang, munafik, penipu, hingga agen kapitalis.
Kemudian, dalam Kongres SI Merah, 4 Maret 1923 di Bandung, Jawa Barat. Kongres ini dihadiri 16 cabang PKI, 14 cabang SI Merah, dan sekumpulan sekerja Komunis. Misbach hadir dalam kongres ini dan menyampaikan pendapatnya; menunjukkan ayat-ayat Al-Qur’an. Ia menegaskan hubungan Islam & Komunisme dalam usaha perang melawan kapitalisme, serta mengkritik para pimpinan SI Putih yang dianggap munafik karena menjadikan Islam sebagai selimut mereka untuk memperkaya diri. Pada 20 Oktober 1923, ia kembali ditangkap pemerintah kolonial, lalu diasingkan ke Manokwari, Dutch-Neiuw Guinea (kini Papua Barat Daya), hingga wafat pada 1926.
La situazione politica tra le ideologie presenti nelle Indie Orientali Olandesi si intensificò negli anni Venti del XX secolo, culminando nella ribellione del PKI del 1926, che segnò anche la pagina più buia del comunismo nell’era coloniale. Dopo questo evento, il PKI e il comunismo furono dichiarati illegali dal governo coloniale; i suoi attivisti furono arrestati, imprigionati e deportati, il partito fu sciolto e la sua ideologia fu vietata.
Da un punto di vista organizzativo, SI e Muhammadiyah decisero di vietare la doppia appartenenza, ovvero la possibilità di essere membri di più di un’organizzazione; tale desicione, evidentemente, ha acuito il conflitto tra il PKI e la SI, ma anche con Muhammadiyah. Uno dei protagonisti di questo cambiamento è stato Hadji Misbach, predicatore ed ex-alunno della scuola religiosa, un leader di Muhammadiyah che però successivamente si è schierato contro questa organizzazione, diventando una sorta di portavoce (ed avversario) del PKI e del comunismo. All’inizio dell’era del movimento nazionale, SI e Muhammadiyah erano molto vicini, soprattutto attraverso la relazione tra HOS Cokroaminoto e K.H. Ahmad Dahlan che ha avvicinato le due organizzazioni.
Misbach entrò in Muhammadiyah dopo il suo incontro con Hadji Fachrodin, all’IJB (Inlandshce Journalisten Bond), o Associazione dei Giornalisti Bumiputera, fondata da Mas Marco Kartodikromo; essi, in seguito, fondarono il giornale Medan Moeslimin (1915) e Islam Bergerak (1917). Il rapporto di Misbach con Sarekat Islam era inizialmente molto stretto. Fu proprio Misbach a fondare una milizia SATV (Sidik, Amanah, Tabligh, Vatonah) per accompagnare il TKNM (Tentara Kandjeng Nabi), le milizie formate da HOS Cokroaminoto come forma di protesta contro il caso di blasfemia religiosa da parte di Martodharsono e Djojodikoro (1918).
Misbach divenne ‘Haji Merah’ (Hajj Rosso), e cercò di unire l’Islam e il comunismo in un’unica ideologia e forza politica, senza doverli necessariamente contrapporre; lo stesso Misbach, tuttavia, non era più in sintonia con SATV e se ne andò nel 1920. Egli fu anche incarcerato dal governo coloniale dopo aver provocato disordini e organizzato scioperi dei lavoratori della canna da zucchero a Klaten; in prigione, egli incontrò diversi attivisti dell’ISDV (poi del PKI) e consolidò la sua decisione di diventare un comunista.
Il conflitto è iniziato con la lotta contro HOS Cokroaminoto tra i membri di alto rango del CSI (Centraal Sarekat Islam), riguardo all’accusa di appropriazione indebita dei fondi TKNM, che si sospetta sia stata commessa dallo stesso HOS Cokroaminoto, e Misbach restò deluso da questo evento. La politica di Sarekat Islam, che vietava di appartenere ad altre organizzazioni, poi, provocò l’ira di Misbach; il divieto, tuttavia, cercava di evitare quanto successo in passato, ovvero che diversi membri della sezione di Semarang di SI fossero anche membri del PKH (Associazione Comunista delle Indie), in seguito trasformatasi nel PKI (Partito Comunista Indonesiano).
Muhammadiyah e Sarekat Islam si avvicinano in maniera crescente, ma la prima non scelse di cooperare con SI, bensì con l’amministrazione coloniale dell’Indie Olandesi. Questo atteggiamento, evidentemente, non venne tollerato da Misbach, e la situazione peggiorò ulteriormente dopo essere stato rilasciato dalla prigione nel 1922. Durante il Congresso Annuale di Muhammadiyah del 1923 a Yogyakarta, Misbach si presentò, e chiese all’organizzazione di trasformarsi in un partito politico vero e proprio. Si stima, a tale proposito, che lo stesso Misbach fosse uscito da Muhammadiyah un anno prima (o all’inizio/metà del 1923), dopo aver criticato aspramente KH. Ahmad Dahlan e H. Fachrodin, ed essersi scagliato contro il Hoofdbestuur Muhammadiyah, in quanto parte coinvolta in scandali e debiti.
Il 4 marzo del 1923 si svolse il Congresso di ‘SI Rosso’, a Bandung, Giava Occidentale, e ad esso parteciparono 16 branche del PKI, 14 branche del SI Merah, e un gruppo di lavoratori comunisti; Misbach, che era presente a questo evento, espresse la sua opinione mostrando i versetti del Corano. In tale occasione, egli sottolineò il legame tra Islam e Comunismo nella lotta contro il capitalismo, e criticò apertamente i leaders del SI Bianco, accusandoli di ipocrisia per aver usato l’Islam a scopo di lucro.
Il 20 ottobre 1923, tuttavia, Misbach fu nuovamente arrestato dal governo coloniale, per poi essere esiliato a Manokwari, nell’allora Nuova Guinea Olandese (l’attuale Papua Occidentale), dove rimase fino alla morte nel 1926.
Haji Datuk Batuah contro Haji Rasul: La lotta tra il Movimento Islamico e i Comunisti a Sumatra Occidentale
Haji Datuk Batuah vs Haji Rasul: Pertarungan Gerakan Islam vs Komunis di Sumatera Barat
Polemik gerakan Islam dan komunis tidak hanya terjadi di Jawa saja, melainkan juga di Sumatera, melalui H. Datuk Batuah. Ia berhadapan dengan Abdul Muis (SI) dan Haji Rasul (Muhammadiyah), yang sebenarnya adalah ‘gurunya’ Batuah, salah satu pendiri pesantren Sumatera Thawalib (bersama Syekh Ibrahim Musa), serta pelopor Muhammadiyah di Sumatera Barat, sekaligus ayah Buya Hamka. Batuah adalah guru agama (guru bantu) di gerakan/sekolah Sumatera Thawalib yang bercorak modernis Islam, Padang Panjang, Sumatera Barat. Ia mencoba memadukan Marxisme dan Islam, serta nilai-nilai adat Minangkabau, dengan istilah Kuminih.
Jumlah anggota komunis melonjak di Padang Panjang (yang kemudian beririsan dengan Pemberontakan Silungkang Sumatera Barat 1927) Pada 1923, pemerintah kolonial meringkus Haji Datuk Batuah dan kawan-kawan. Mereka dibuang ke Nusa Tenggara Timur dan dijebloskan ke Digoel, Dutch Nieuwe Guiena, lalu dieksternir ke Australia. Sumber kolonial menyebut propagandis komunis itu merencanakan pembunuhan, coupt kekuasaan, dan penyebar kebencian.
Batuah ‘hijrah’ ke komunis setelah bertemu dan banyak bertukar pikiran dengan Natar Zainuddin, seorang propagandis serikat buruh kereta api (VSTP). Natar, pulang ke Sumatera setelah sebelumnya bergabung PKI Semarang. Batuah dan Natar lalu semakin erat dan mendirikan PKI Padang Panjang, Batuah jadi ketuanya (komposisi: Batuah, ketua. Djamaludin Tamin, sekretaris dan bendahara. Natar, anggota. Datuk Machudum Sati, anggota).
Pada 1923, mereka menngikuti Kongres PKI di Bandung, Jawa Barat. Di sana mereka bertemu dengan H. Misbach. Batuah bahkan sangat terpikat dengan Misbach setelah mendengar pidatonya, (10) berkaitan adanya persamaan ideologis antara Islam-Komunis, yang tidak perlu dipertentangkan. Setelah kongres, Batuah kembali dan bersama Natar dan kawan-kawan, semakin aktif bergerak dengan berbagai cara; menulis dengan keras di Surat Kabar Pemandangan Islam dan Djago-Djago!, serta membentuk studi klub dan/atau pusat propaganda International Debating Club (IDC). Berbagai aktvitas tersebut membuat pemerintah kolonial murka. Mereka ditangkap dan dibuang ke Nusa Tenggara Timur pada 1923. Batuah kemudian dibuang lagi ke Boven Digul pada 1927.
Ketika Jepang bergerak menduduki Hindia-Belanda, pemerintah kolonial membawa para ‘Digulis’ ke New South Wales, Australia, termasuk Hadji Datuk Batuah. Mereka kembali ke Indonesia setelah kemerdekaan. Batuah sendiri, sempat singgah di Surakarta (Solo). Pada 1947, Presiden Sukarno memandatkan Batuah menjadi salah satu anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Soe Hok Gie mencatumkan nama Datuk Batuah sebagai salah satu wakil komunis di Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Ia lalu pulang ke Sumatera Barat, tepatnya di Koto Laweh, dan melanjutkan dakwah Islam dan komunis di sana, hingga wafat pada 1949.
La polemica tra il movimento islamico e quello comunista non si è verificata solo a Giava, ma anche a Sumatra, attraverso H. Datuk Batuah, che si trovò ad affrontare Abdul Muis (SI) e Haji Rasul (Muhammadiyah). Si trattava, tuttavia, dei ‘maestri’ di Batuah, uno dei fondatori della scuola islamica Sumatera Thawalib (insieme a Syekh Ibrahim Musa), nonché pionieri di Muhammadiyah a Sumatera Occidentale, e padre di Buya Hamka. Batuah era un insegnante ausiliario di religione nel movimento/scuola Sumatera Thawalib di orientamento islamico modernista, situata a Padang Panjang, Sumatra Occidentale; anche Batuah, effettivamente, cercò di combinare il marxismo e l’Islam, oltre ai valori tradizionali Minangkabau, una sintesi nota come ‘Kuminih’.
Il numero dei membri comunisti aumentò a Padang Panjang, un’evoluzione che poi si sovrappose alla Ribellione di Silungkang (Sumatra Occidentale) nel 1927; nel 1923, il governo coloniale arrestò Haji Datuk Batuah e i suoi compagni, che furono esiliati a Nusa Tenggara Timur e rinchiusi a Digoel, nella Nuova Guinea Olandese, per poi essere espulsi in Australia. Le fonti coloniali affermano che i propagandisti comunisti stavano pianificando omicidi, colpi di stato e diffondevano odio contro l’amministrazione coloniale.
Batuah, dunque, ‘emigrò’ verso il comunismo dopo aver incontrato e scambiato molte idee con Natar Zainuddin, un propagandista del sindacato dei lavoratori ferroviari (VSTP), tornato a Sumatra dopo essersi unito al PKI di Semarang. In seguito, Batuah e Natar si avvicinarono in maniera crescente, e fondarono il Partai Komunis Indonesia a Padang Panjang, di cui Batuah divenne presidente. La composizione del primo PKI a Padang, dunque, includeva, oltre al suo presidente, Djamaludin Tamin, in qualità di segretario e tesoriere. Invece, Natar, e Datuk Machudum Sati erano i primi membri ad aderire al neonato partito.
Nel 1923, costoro parteciparono al Congresso del PKI a Bandung, a Giava Occidentale, e fu in tale occasione che essi incontrarono H. Misbach, di cui lo stesso Batuah rimase estremamente affascinato dopo aver ascoltato il suo discorso sull’esistenza di una ideologica tra Islam e Comunismo, che dunque non dovevano essere contrapposti. Dopo il congresso, Batuah insieme a Natar e ai suoi compagni, divenne sempre più attivo in vari fronti; è nota, in effetti, la sua attività di redattore sui giornali Pemandangan Islam e Djago-Djago!. Batuah, inoltre, formò un club di studio e centri di propaganda, come l’International Debating Club (IDC), e tali attività, evidentemente, non furono accolte con favore dall’amministrazione coloniale.
Non sorprende, dunque, che essi vennero catturati e deportati a Nusa Tenggara Timur nel 1923, mentre Batuah venne poi nuovamente esiliato a Boven Digul nel 1927. Quando il Giappone si preparò ad occupare le Indie Orientali Olandesi, il governo coloniale portò i ‘Digulis’ (prigionieri politici) nel New South Wales, in Australia, e tra loro c’era anche Hadji Datuk Batuah. Solamente dopo l’indipendenza essi poterono fare ritorno in Indonesia, e lo stesso Batuah si fermò a Surakarta (Solo).
Nel 1947, il presidente Soekarno ha incaricato Batuah di diventare uno dei membri del Comitato Nazionale Indonesiano Centrale, il KNIP; Soe Hok Gie (attivista indonesiano di origine cinese) ha inserito il nome di Datuk Batuah come uno dei rappresentanti comunisti in questo Comitato. Successivamente, Batuah tornò a Sumatra Occidentale, precisamente a Koto Laweh, e continuò la predicazione dell’Islam e del comunismo, fino alla sua morte avvenuta nel 1949.
Conclusioni
Concludo questo articolo con le mie (editore) riflessioni conclusive, omesse dall’autore. In effetti, le vicende di Misbach e Batuah riflettono e confermano la flessibilità dell’Islam indonesiano, capace di adattarsi a diversi ambienti e circostanze; anche un’ideologia apparentemente lontana come il comunismo innesca un tentativo di armonizzazione da parte di alcuni membri della comunità. Si può essere tentati di considerare queste due figure, e di coloro che hanno aderito al loro pensiero, come un’anomalia, ma ritengo, invece, che esse siano espressione della capacità di adattamento ed inculturazione mostrato dall’Islam indonesiano in passato.
Sicuramente, si tratta di eventi e questioni che vengono raramente trattate, ma che meriterebbero un maggiore approfondimento, allo scopo di sottolineare la diversità e la ricchezza della società indonesiana.
Letture Consigliate
- Soe Hok Gie. (2005). Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan (Persone al bivio di sinitra). Yogyakarta: Bentang Pustaka.
- Boon Kheng Cheah. (1992). From PKI to the Comintern. Cornell University Press.
- Suryana Sudrajat. (2006). Kearifan Guru Bangsa: Pilar Kemerdekaan (La saggezza degli insegnanti della nazione: pilastri della libertà) . Jakarta: Erlangga.